Senin, 31 Januari 2011

"memulai" jadi bagian suatu komunitas

Dari lahir gw kayaknya emang susah banget buat "memulai sosialisasi" di tempat yang baru, dan sekarang itu jg yang gw rasain hari ini. Kantor baru dengan orang-orang baru, bukan hal yang gampang dan instan tentunya untuk bersosialisasi apalagi ditambah dengan prediket gw yang dari dulu emang malaaaasss banget dengan yg namanya basa-basi. Gw cenderung memilih diam dan hanya melempar senyum (ini senyum ikhlas loh..:)) kl ketemu ato papasan sm orang.

Kenapa sih sulit sekali buat gw ngobrol lebih banyak? God, I need a miracle, bisa gag masa-masa awal sosialisasi ini di skip?bisa gag tiba2 semua orang disini dan gw sendiri nganggap gw bukan newbie disini??jadi gw bisa menjadi 'biasa'.

Dulu posisi ini jg gw alami pas pertama kali penempatan di palembang, gw jadi orang super duper pendiam (aslinya sih pendiam aja..:p), ngomong kalo diajak ngomong. Eh, gw bukan sombong loh (menurut gw), gw cuma takut kalo ngajakin org ngomong eh ternyata orangnya gag respon, atau orangnya gag suka ngomong sama gw (paranoid berlebihan). Dan keparanoidan itu mau gag mau bikin gw tersiksa (poor me). Kalau waktu di palembang gw butuh waktu lebih dari sebulan buat masuk ke komunitas yang ada, apa disini gw juga butuh waktu segitu lama?? ato gw harus merubah pandangan gw dan kebiasaan gw dalam memulai bersosialisasi itu??
hmmm...

"Ketika manusia masuk ke dalam suatu komunitas, akan muncul pertanyaan: ingin jadi siapa saya disini? Akan jadi orang yang dihargai dan dihormati, dalam artian selalu didengar jika berbicara dan dianggap leader, atau sekadar menjadi pelengkap suasana saja yang kehadirannya tidak membuat ramai dan ketidakhadirannya tidak membuat sepi suasana. Manusia jakarta yang megalomaniak tentu ingin menjadi pribadi yang pertama. Nah, dalam keadaan inilah manusia yang masuk ke dalam suatu komunitas membentuk identitas diri yang sama sekali baru yang berbeda ketika orang tersebut berada di dalam komunitas lain. Identitas diri terbentuk oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri, sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya kontinuitas biografis. Individu berusaha mengontruksi suatu narasi identitas koheren dimana ’diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa lalu sampai masa depan yang dapat diperkirakan (Giddens, 1991:75)"


" Kalau kita menerapkan ilmu banyak memberi, maka akan banyak pihak yang senang dengan kita. Tapi kalau inginnya banyak menerima, maka yang jelas kita tidak akan bisa menjadi orang yang tulus. Memberi lebih utama, dan dalam berinteraksi atau komunikasi hal ini juga berlaku (http://www.komunikasi.pasca.uns.ac.id)"


Tidak ada komentar:

Posting Komentar